SPETRA dan SIGNLY, meretas keterbatasan Tunawicara dan Tunarungu

Tak pernah berhenti berkarya, mahasiswa dari dua kampus ternama di Tanah Air menciptakan alat penerjemah bahasa isyarat untuk memudahkan komunikasi para difabel tunawicara dan tunarungu.

Penderita tunawicara dan tunarugu kerap diacuhkan oleh orang lain saat berkomunikasi. Bukan karena tak ada rasa empati, tapi karena kebanyakan dari kita tak mengerti bahasa isyarat yang mereka gunakan. Inilah yang mengusik tiga mahasiswa dari Universitas Negeri Malang (UM) untuk membuat aplikasi yang mereka beri nama SPETRA (Speech Translation App).

Tiga mahasiwa itu adalah Edward Mesak Dua Padang, Adjie Rosyidin, dan Arief Yoga yang dibimbing oleh Azhar Ahmad Smaragdina, S.Pd., M.Pd. Mereka menggagas inovasi penerjemah bahasa isyarat karena sadar akan kesetaraan dalam berkomunikasi dengan setiap orang.

Edwar Mesak selaku ketua tim mengatakan, saat ini inovasi penerjemah bahasa telah banyak diciptakan, namun tak satupun yang melirik kepentingan tunawicara ataupun tunarungu. Untuk itulah inovasi aplikasi SPETRA hadir sebagai solusi.

Melalui aplikasi ini, orang normal pada umumnya akan mampu berkomunikasi dengan tunawicara atau tunarungu tanpa khawatir tidak mengerti setiap bahasa isyarat yang digunakan.

Dengan memanfaatkan teknologi gesture recognition, aplikasi yang diinstal pada gawai android ini mampu mengenali semua gerakan bahasa isyarat kemudian menerjemahkannya dan mengeluarkan hasil terjemahan dalam bentuk teks maupun suara.

“Melalui inovasi ini, kami berharap ada kesetaraan dan saling menghargai di mana semua orang mampu memberikan dan menerima feedback dalam berkomunikasi tanpa terhalang oleh keterbatasan fisik,” ungkap Edward.

Saat ini, aplikasi tersebut telah diakui dan didanai oleh Ristekdikti. Aplikasi tersebut akan terus dikembangkan, sehingga mampu digunakan dengan nyaman oleh semua orang. Untuk memperkenalkan aplikasi tersebut kepada masyarakat, inovasi ini dapat dikunjungi pada situsweb www.spetra.id.

Signly dari UGM

Berjalan ke kota pendidikan Yogyakarta, sekelompok mahasiwa Universitas Gadjah Mada sukses mengembangkan perangkat sarung tangan untuk menerjemahkan bahasa isyarat. Signly, demikian mereka memberikan nama penemuan yang dipublikasikan pertengahan 2018 lalu.

Signly atau Sign Language Translator Synchronously berwujud sarung tangan dengan katalog bahasa isyarat masukan diambil dari American Sign Language, Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo), dan masukan-masukan baru menggunakan kombinasi lima jari tangan kanan.harapannya, alat penerjemah bahasa isyarat berbentuk sarung tangan ini memudahkan penyandang tuna rungu dan wicara berkomunikasi dengan orang-orang di sekitar mereka.

“Perangkat ini bisa menerjemahkan bahasa isyarat secara langsung menjadi bahasa verbal,” ujar Nindi Kusuma Ningrum, ketua tim, beberapa waktu lalu.

Untuk mengembangkan alat ini, Nindi dibantu teman satu jurusan di Teknologi Informasi Fakultas Teknik yakni Faturahman Yudanto dan Lely Monalisa di bawah bimbingan Anugerah Galang Persada. Signly merupakan produk dari Program Kreativitas Mahasiswa bidang Karsa Cipta (PKM-KC) dan mendapatkan dana hibah dari DIKTI.

Selain sarung tangan, perangkat ini juga terdiri dari ponsel pintar dan komputer. Di dalam sarung tangan terdapat flek sensor yang berfungsi untuk mendeteksi gerakan dan posisi jari tangan. Informasi yang diterima berupa huruf ditampilkan melalui aplikasi yang bisa diakses di desktop atau ponsel pintar.

Keluaran dari penerjemah bahasa isyarat ini berupa verbal tulis atau rangkaian huruf yang dikonversikan ke dalam bentuk suara. Dengan begitu, orang dapat langsung mengerti hal yang dikomunikasikan oleh pemakai bahasa isyarat.

Kemudian, lawan bicara dapat menjawab dengan bahasa sehari-hari yang akan dikonversikan ke dalam bentuk verbal tulis, yang dapat dibaca secara langsung oleh penyandang tunarungu atau tunawicara melalui layar komputer atau ponsel pintar.

Faturahman menjelaskan kebutuhan perangkat ini penting mengingat jumlah penduduk dengan gangguan pendengaran tidak sedikit. Berdasarkan data WHO tahun 2000 terdapat 250 juta penduduk dunia menderita gangguan pendengaran.

Sebanyak 75 hingga 140 juta penduduk terdapat di Asia Tenggara. Sementara data hasil Survei Kesehatan Nasional oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (1993-1996) menunjukkan 0,4 persen penduduk Indonesia tuna rungu dan 16,8 persen orang mengalami gangguan pendengaran.

“Pengembangan prototipe terus dilakukan, termasuk menambahkan fungsi alat supaya mampu menerjemahkan bahasa isyarat langsung ke verbal suara,” ucapnya.

Saat ini, mereka baru fokus pada penelitian dan pengembangan lebih lanjut alat dan perangkat pendukung. #