Sri Haryati

Merangkul Perempuan Memperjuangkan Hak Tinggal

Merangkul Perempuan Memperjuangkan Hak Tinggal

Menyadari dampak pertambangan yang sangat merugikan, Ermanela lantang menggelorakan penolakan izin tambang emas di kampung halamannya. Dengan bersusah payah dia mengetuk kesadaran warga dan menyadarkan kaum perempuan akan bahaya ekstraksi tambang. Kehilangan lahan sebagai sumber kehidupan dan massifnya perusakan lingkungan akibat penambangan menjadi alasan paling kuat.

 

Putus sekolah bukan berarti putus harapan. Putus sekolah bukan berarti pula tak berani melawan penindasan. Itulah yang selalu bergelora di dada Sri Haryati yang karib disapa Kak Yati.

Lahir di Kebun Sungai Iyu 31 Januari 1971, Sri Haryati hidup dalam segala keterbatasan. Ketika berumur 6 tahun, ia memulai pendidikan di SD Swasta Perkebunan Sunyai Iyu, Aceh Tamiang. Menamatkan SMP pada 1987, Yati melanjutkan pendidikannya di SMEA Langsa, namun tidak selesai.

Keadaan memaksanya untuk berkeluarga di usia yang tergolong muda. Suaminya bekerja sebagai tenaga harian lepas di PT. Parasawita. Dua anaknya kini telah beranjak dewasa. Anak pertama telah bekerja di Ulee Glee, Pidie Jaya, sedangkan si bungsu masih duduk di bangku SMA.

Waktu luang, digunakan Yati untuk aktif di Aliansi Masyarakat Gerakan Rakyat Boikot Rapala (Gebok Rapala) Masyarakat Kampung Perkebunan Sungai Iyu dengan posisi sebagai bendahara. Ia juga sering mengikuti berbagai pengajian di kampungnya. Kehidupan sehari-harinya diisi dengan berkebun di belakang rumaha. Namun sekarang kebun miliknya telah rata dengan tanah karena pihak perusahaan akan menanam sawit.

Sri Haryati merupakan seorang perempuan yang berani melawan terhadap apapun selama itu adalah haknya meskipun dirinya hanya tamatan SMP. Karena dirinya sadar betul bahwa pendidikan tidak selamanya membuat orang berani dalam memperjuangkan haknya. Keberanian tersebut bertambah dengan di dampingi oleh LBH Banda Aceh.

Kampung Perkebunan Sungai Iyu merupakan kampung yang terletak di dalam kawasan perkebunan PT. Parasawita. Sejatinya Kampung Perkebunan Sungai Iyu adalah desa yang terdaftar dan sah di Kecamatan Bendahara dan diakui Pemerintah Republik Indonesia. Keberadaan desa tersebut jauh sebelum diterbitkan HGU PT. Parasawita yang pertama di tahun 1973 dan perpanjangan di tahun 1990.

Wilayah Pemerintahan Kampung adalah tanggung jawab dari pemerintah, dan

Tanah, bagi Sri Haryati adalah pondasi dasar sumber kehidupan setiap manusia. Tak ada manusia yang bisa hidup sempurna tanpa tanah. Sebagai warga negara Indonesia, tutur Sri, ia ingin agar negara mengembalikan tanah kampung halamannya yang kini dikuasai PT Parasawita, kepada warga agar masyarakat memiliki sumber penghasilan.

Berdasarkan data, HGU PT. Parasawita  berakhir pada 31 Desember 2015  dan ternyata telah di perpanjang oleh PT. Rapala terdaftar Tanggal 22 April 2014 serta di keluarkan sejumlah 34.9 Ha.

Pada Tahun 2013, PT. Parasawita mengalihkan HGU dan aset perusahaan ke PT. Rapala (Raya Padang Langkat). Peralihan  Hak Guna Usaha PT. Parasawita kepada PT. Rapala dikabulkan oleh Kepala BPN RI sesuai dengan surat No. 5002-5003/14.3-300/XII/2013 Tanggal 9 Desember 2013, selanjutnya dilakukan pengalihan hak atas tanah berdasarkan Akta Jual Beli No. 808/2013 Tanggal 14 Desember 2013 dan didaftarkan balik nama sertifikatnya  pada Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Tamiang pada Tanggal 20 Desember 2013. PT. Rapala merupakan perusahaan yang berkedudukan di Medan Provinsi Sumatra Utara.

Itulah yang menjadi asal mula perlawanan yang dilakukan Sri Haryati. Pasalnya, setelah peralihan aset maka keberadaan kampung Perkebunan Sungai Iyu mulai terusik oleh PT. Rapala yang mengaku bahwa kampung tersebut adalah kawasan dari perusahaan. Bahkan, perusahaan juga  meminta warga untuk keluar dari wilayah kampung tersebut.

Alasan awal dari PT. Rapala adalah bahwa pihak perusahaan tidak menerima karyawan PT. Parasawita, sebab yang di alihkan hanya sebatas areal perkebunan dan tidak termasuk karyawannya yang sebagian adalah warga masyarakat lokal.

Situasi bertambah panas setelah dua bulan berjalannya peralihan aset PT. Parasawita ke PT Rapala.  Perusahaan menolak karyawan yang berusia di atas 35 tahun untuk bekerja. PT. Parasawita seolah cuci tangan dan tidak pernah memikirkan nasib bekas karyawannya yang telah berusia diatas 35 tahun yang kini statusnya terkatung-katung. Yang menyedihkan,  karyawan PT. Parasawita rata-rata telah berusia di atas 35 tahun sehingga mereka tidak diterima di lingkungan PT. Rapala.

“Alasan awal dari PT Rapala bahwa pihak perusahaan tidak menerima karyawan PT Parasawita, sebab yang dialihkan hanya sebatas areal perkebunan dan tidak termasuk karyawannya yang sebagai warga masyarakat,” kata Sri Haryati.

Padahal, sebagian besar keluarga yang tinggal di kampung Sungai Iyu adalah karyawan yang bekerja di PT. Parasawita. Setelah penolakan para karyawan, pihak PT. Rapala memanggil Datok Penghulu untuk mengintruksikan agar perumahan di kosongkan dalam waktu empat hari terhitung dari tanggal 12 Desember 2012.

Akibat putusan yang sangat semena-mena itu, dampak yang sangat besar dirasakan oleh perempuan-perempuan yang tinggal di Kampung Sungai Iyu. Mereka harus kehilangan mata pencaharian bagi dirinya dan suaminya yang selama ini diperoleh dari hasil bekerja di PT. Parasawita. Hal tersebut juga berdampak pada anak-anak mereka. Sebelumnya, anak-anak bersekolah di SD Swasta Perkebunan Sungai Iyu. Tapi sekarang sekolah itu telah disulap menjadi gudang pupuk milik PT. Rapala. SD tersebut sudah tidak berfungsi lagi karena sangat sedikit murid yang bersekolah di sana.

Akhirnya, murid yang masih bersekolah di SD Swasta Perkebunan Sungai Iyu dipindahkan ke SD di Kampung Marlempang Aceh Tamiang, dengan jarak tempuh menggunakan kendaraan roda dua selama 15 menit.

Keresahan yang paling menyiksa masyarakat adalah hilangnya tempat tinggal mereka.  Pasalnya, masyarakat yang tinggal di perumahan tersebut tergolong masyarakat miskin yang tidak memiliki rumah tinggal. Mereka bertekad,bila perusahaan benar-benar akan mengusir, mereka akan membangun tenda darurat di sana.

Masyarakat dari Kampung Perkebunan Sungai Iyu berharap adanya ketegasan tentang nasibnya ke depan. Mengingat kebutuhan ekonomi yang semakin mendesak, maka hal ini juga berbanding lurus dengan kebutuhan masyarakat terhadap tanah sebagai salah satu sumber penghidupan.

Dengan berbagai persoalan tersebut, sosok Sri Haryati menjadi seorang perempuan yang berani memperjuangkan hak-haknya yang telah di rebut oleh pihak perusahaan. Masalah yang sedang ia hadapi membuat ibu dua anak ini berani bersuara lantang. Warga merasa dizalimi oleh dua perusahaan tersebut.

Berbagai persoalan dan tantangan membuatnya semakin tangguh berjuang bersama dengan warga. Hal ini juga di dukung penuh oleh suaminya, yang memberikan keleluasaan dirinya untuk ikut bergabung dengan Aliansi Masyarakat Gerakan Rakyat Boikot Rapala (Gebok Rapala).

Aliansi Gebok Rapala Masyarakat Kampung Perkebunan Sungai Iyu Kecamatan Bendahara Kabupaten Aceh Tamiang sendiri terbentuk pada tanggal 12 Desember 2012. Lembaga ini menjadi wadah perjuangan dengan melakukan aksi di kantor Bupati Aceh Taming, kantor DPRK Aceh Tamiang dan kantor BPN Aceh Tamiang pada tahun 2013 bersama-sama dengan warga kampung Perkebunan Sungai Iyu.

Tak hanya itu, Gebok Rapala bersama warga kampung Perkebunan Sungai Iyu juga melakukan aksi di kantor Bupati Aceh Taming, kantor DPRK Aceh Tamiang dan kantor BPN Aceh Tamiang pada tahun 2015.

Tak hanya menggelar aksi, Sri Haryati dan teman-teman seperjuangan juga melakukan audiensi dengan Bupati Aceh Taming, kantor DPRK Aceh Tamiang dan kantor BPN Aceh Tamiang dan pihak-pihak terkait lainya. Hebatnya, Sri Haryati berhasil mengumpulkan sumbangan dari masyarakat kampung Perkebunan Sungai Iyu untuk biaya masyarakat melakukan aksi.

Jika tak ada aksi, Sri Haryati kerap mengadakan pertemuan setelah pengajian dengan kaum perempuan untuk membahas langkah selanjutnya untuk memperjuangkan tanah harapan mereka. Pertemuan dilakukan dengan sangat sederhana. Biasanya, pertemuan dilakukan di atas balai panggung yang terbuat dari kayu seluas 15×10 meter. Duduk sepuluhan ibu-ibu, beberapa diantaranya terlihat sibuk becengkrama, sementara yang lainnya sedang mengisi absensi kehadiran. Diskusi selalu hangat. Para peserta diskusi yang semuanya adalah ibu-ibu semangat mengajukan pertanyaan, khususnya seputar masalah konflik pertanahan. Tidak sedikit pula yang bertanya soal pengertian gender dan ruang lingkupnya.

“Ibu-ibu harus terus diajak di sela waktu luang mereka untuk terus berusaha memperjuangkan tanah. Kita harus saling menguatkan satu dan lainnya,” ujarnya.

Kini, Sri Haryati tetap terus gigih berjuang meski pihak perusahan tidak lagi mengintimidasi masyarakat secara langsung. Sri mengatakan, meskipun saat ini tidak ada aksi frontal perusahaan ke warga, tapi mereka bergerilya di tataran pejabat setempat. Dia mendapat kabar bahwa pihak perusahaan telah memaksa Camat Kecamatan Bendahara untuk meminta masyarakat mengosongkan rumah. Namun itu tidak dilakukan oleh Camat Bendahara karena masyarakat memiliki alasan kuat untuk tetap mempetahankan tanah mereka.

“Semua perjuangan kami penuh dengan tantangan, terlebih masih sulit meyakinkan kaum perempuan untuk ikut berpartisipasi dalam pertemuan di tingkat provinsi. Tak hanya itu, masih ada sebagian kecil keluarga yang lebih memilih mengosongkan rumah dan memilih pekerjaan yang ditawarkan oleh perusahaan. Namun hal ini sudah sangat berkurang dari tahun sebelumnya,” urainya.

Status Desa Perkebunan Sungai Iyu masih belum jelas. Perusahaan memang belum menunjukkan sikapnya untuk mengusir warga. Tetapi Sri Haryati tetap teguh pada perjuangannya. Terlebih saat ini masyarakat di Desa Perkebunan sudah solid untuk berjuang.

“Yang membuat saya bahagia, dukungan semakin besar bahkan kakak kandung saya yang sebelumnya tidak mendukung perjuangan, kini memberikan dukungan secara penuh,” katanya Sri Haryati dengan bahagia.

Kebahagiaan makin bertambah karena kaum perempuan sudah bersatu dan kompak untuk melakukan perjuangan walaupun hanya pada tingkat kabupaten. Dan kaum perempuanlah yang kemudian mendorong suami mereka untuk meninggalkan pekerjaan di perusahaan demi mempertahankan tanah yang diserobot oleh perusahaan.

Sri Haryati yang diundang dalam pertemuan berskala nasional di Bogor pun tak pelit berbagi pengalaman. “Kepada saudara-saudara saya di kampung saya ceritakan kepada mereka bahwa masih banyak orang di daerah lain yang mengalami masalah lebih berat dari yang sedang dihadapi oleh masyarakat di Desa Perkebunan Sungai Iyu. Dan setelah mendengarkan ceritanya, masyarakat semakin solid dan berkaca pada masalah yang dihadapi orang lain.”

 

 

Riwayat Hidup

 

Nama                                       :  Sri Haryati

Tempat /Tanggal Lahir             :  Kebun Sungai Iyu, 31 Januari 1971

Jenis Kelamin                          :  Perempuan

Pendidikan                               :  SMEA Langsa

Pekerjaan                                 :  Ibu Rumah Tangga

Alamat                                     :  Dusun 1, Desa Perkebunan Sungai Iyu, Kecamatan Bendahara, Kabupaten Aceh Tamiang

Sektor yang diperjuangkan      : Lahan Perkebunan