Indonesia sebetulnya mampu menyelesaikan permasalahan kebakaran hutan dan lahan melalui kearifan lokal yang sudah ada, seperti penanaman sagu.

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang masih berlangsung di beberapa wilayah menjadi tantangan bersama setiap tahun. Upaya ekonomi produktif menjadi alternatif untuk menciptakan penghidupan masyarakat yang ramah terhadap ekosistem gambut.

Salah satu usaha ekonomi produktif yang prospektif yaitu sagu. Sagu bisa menjadi komoditas unggulan nasional khususnya di lahan gambut basah.

Hal tersebut diungkapkan oleh Deputi IV Bidang Penelitian dan Pengembangan Badan Restorasi Gambut (BRG) Haris Gunawan dalam konferensi pers di Graha BNPB, Pramuka, Jakarta Timur, Rabu 2 Oktober 2019.

Harris menyampaikan bahwa luas lahan hutan sagu di Tanah Air mencapai 1,225 juta hektare. Total produksi tepung sagu nasional mencapai 6,84 juta ton per tahun.

Apabila masyarakat didorong menanam sagu di daerah-daerah lahan gambut dan berpotensi karhutla, kata Harris, maka bencana asap dapat dicegah. Sebab, sagu memiliki keistimewaan dibandingkan dengan tanaman sawit yang justru menghilangkan cadangan air. Produksi diversifikasi sagu dapat digunakan untuk bahan pangan, gula etanol.

“Sagu sebagai salah satu solusi mengatasi krisis pangan dan energi,” ujar Haris Gunawan.

Di samping itu, cara menanganinya mudah karena tidak perlu memakai pupuk atau jenis tanah tertentu sebagai tanaman monokultur. Kebetulan tanaman sagu amat cocok berkembang biak di lahan gambut basah, “Sekali tanam, sagu tumbuh berkembang meskipun ditinggal. Asal ada air,” imbuh Harris Gunawan.

Haris meyakini, Indonesia sebetulnya mampu menyelesaikan permasalahan karhutla melalui kearifan lokal yang sudah ada di antara kita, seperti penanaman sagu.

Haris mencatat produksi sagu nasional Indonesia tahun 2014 hingga 585.093 ton, sedangkan potensi produk sagu seluruh Indonesia sebesar 5,5 juta ha dikalikan rata-rata produksi 25 ton per hektar yang ekuivalen dengan 165 juta ton.

“Masyarakat percontohan yang menanam sagu dapat ditemui di Desa Sungai Tohor, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau dimana sagu sebagai semi budidaya. Luas lahan sagu di kabupaten ini mencapai 63.000 hektar, sedangkan luas lahan sagu di Provinsi Riau seluas 84.000 hektar,” tambah Haris.

Haris juga mencontohkan solusi ekonomi produktif lainnya misalnya dnegan pengembangan produk kerajinan tanaman purun. Tanaman ini banyak ditemui di wilayah Kalimantan. Tanaman ini bisa dijadikan sebagai produk makanan yang diambil dari akar purun. Selain itu, dilihat dari kesatuan hidrologi gambut (KHG) dapat diidentifikasi beberapa usaha ekonomi produktif yang dapat dikembangkan.

Misalnya pada dataran banjir atau alluvial, berbagai jenis budidaya ikan lokal seperti sepat, betok, gabus, bagung dan tapa dapat dilakukan dengan potensi 19 – 165 ton melalui budidaya. Haris mengatakan ternak itik dapat terintegrasi dengan padi rawa dan sungai gambut dengan aplikasi teknologi probiotik yang menururnkan kadar kolestrol, mengurangi bau kendang dan meningkatkan bobot itik.

Pada gambut dangkal, budidaya kelapa, kopi liberika, pinang, padi, kerbau rawa merupakan komoditas adaptif, sedangkan gambut dalam hingga sangat dalam dapat dimanfaatkan untuk jasa ekosistem seperti serapan karbon dan air.

Namun demikian, upaya solusi ekonomi produktif masyarakat ini perlu didukung industri untuk mengakomodasi hasil komoditas dan mendorong masyarakat untuk memulai produksi yang ramah ekosistem gambut.

Pendekatan livelihood seperti ini sejalan dengan dengan gagasan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam upaya mitigasi dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang masih terus terjadi setiap tahun.

Tahun ini luas kebakaran hutan dan lahan mencapai 328.724 hektare yang terkonsentrasi di tujuh provinsi, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.#