Tini Kasmawati

 

Keterbatasan fisik tak menghalangi Tini Kasmawati untuk berbuat kebaikan bagi lingkungan sekitarnya. Telah delapan tahun ini, dia mengabdikan hidupnya untuk menjaga owa jawa, satwa langka penghuni Hutan Lengkong, yang berada dekat dengan kampungnya.

 

 

NAMANYA Tini Kasmawati, 50 tahun. Warga Kampung Cimaranginan, Lengkong, Sukabumi, ini bukanlah sosok baru yang dikenal oleh kalangan pelestari hewan. Sosok yang karib dipanggil Teh Tini ini telah menghabiskan lebih dari 8 tahun hidup untuk menjamin kehidupan owa jawa di habitat hutan dekat dengan lingkungan tempat tinggalnya.

Upaya menjaga kelestarian yang dilakukan mungkin terdengar sederhana, namun kondisi yang dimiliki Tini nyatanya membuat hal tersebut tampak lebih istimewa. Bukan berasal dari kalangan orang berada, Tini sendiri diketahui mengalami kondisi tuna netra, dengan sebelah mata yang masih bisa melihat dengan samar dan tidak terlalu jelas.

Teh Tini bukan dari kalangan ekonomi mapan, meskipun setiap hari dia rela merogoh koceknya untuk memberi makan puluhan owa jawa, sejak Juni  2014 silam. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, dia hidup hidup dari usaha berjualan kopi di lingkungan dekat kantor Perum Perhutani di kota tempat tinggalnya, Sukabumi.

“Saya datang jam dua siang untuk makan siang mereka dan persediaan makan sore,” ucap Tini, dalam video yang dimuat Sukabumi Update.

Tini biasa menyiapkan makan pagi untuk para owa setelah waktu subuh. Saat siang atau sore, dia biasa dititipkan warung kopinya kepada kerabat jika ingin memberi makan para owa. Atau jika sama sekali tidak ada yang bisa dimintai menjaga warung, dia akan menutup warung tersebut.

Sesungguhnya penghasilan Tini dari berjualan kopi sendiri tidak seberapa, bahkan bisa dibilang lebih sering tidak sampai Rp50 ribu per harinya.

“Lebih sering di bawah Rp50 ribu dibanding di atasnya, (tapi) saya mencoba berbagi dengan mereka (owa jawa). Kalau untuk saya sendiri bisa makan apapun yang sekiranya bisa saya konsumsi, sementara mereka kalau enggak ada buah-buahan enggak bisa makan,” jelasnya.

Karena itu, dari uang penjualan kopi Tini diketahui biasa membeli beberapa sisir pisang untuk sekelompok owa jawa yang ia rawat.

Pertemuan dengan Mahasiswa Belanda

Cerita kepedulian Tini terhadap owa jawa berawal dari pertemuannya dengan Inge, mahasiswi asal Belanda yang ia antar masuk ke Hutan Lengkong untuk meneliti owa jawa. Dari sang mahasiswa, Tini mulai paham keunikan dari primata langka yang hanya ada di Pulau Jawa itu.

“Dari situ saya bertanya-tanya, ini kok ada orang yang mau habiskan uang ratusan juta untuk penelitian di sini, hanya untuk melihat keunikan owa jawa yang katanya cuma tersisa 2.000-an. Artinya kan memang harus dilindungi,” cerita Tini.

Owa Jawa ialah primata endemik Jawa yang sangat setia kepada pasangannya. Satwa ini memiliki usia rata-rata 35 tahun dan hanya akan mencari satu pasangan seumur hidup. Karena kesetiaannya tersebut, owa yang ditinggal mati oleh pasangannya biasanya akan stres dan ikut mati juga.

“Owa ini tidak mau kawin dengan keluarganya. Dia pasti mencari pasangan di luar keluarganya. Kata Inge, anak-anak owa jawa itu takut sama orangtuanya. Setelah saya terjun sendiri, ternyata mereka memang begitu,” jelas perempuan pelestari owa jawa ini.

titi kasmawati di hutan

Belakangan, sumber pangan owa di Hutan Lengkong mulai berkurang karena mayoritas tanaman di situ telah dialihkan menjadi tanaman industri. Hal ini yang memicu hewan-hewan tersebut terpaksa masuk ke permukiman warga untuk mencari makanan.

“Di sini yang banyak daun pinus, sedangkan pinus tidak bisa dikonsumsi, paling mereka cuma makan pucuk daunnya. Sedangkan owa bisa berkembang biak jika ada nutrisi makanan yang cukup.”

Dengan melihat keadaan tersebut, Tini pun berinisiatif untuk memberi makan owa di hutan. Ia sisihkan penghasilannya untuk membeli buah-buah yang kemudian ia berikan kepada owa-owa di hutan.

Tini juga aktif merawat hutan yang menjadi habitat alami primata langka tersebut. Semuanya ia lakukan dengan tujuan agar primata langka penghuni Hutan Lengkong ini terhindar dari kepunahan.

“Primata langka ini bukan milik saya, ini milik dunia. Di Indonesia hanya ada di Jawa Barat, dan yang terbanyak di kampung kami. Keseluruhan ada lebih dari 60 ekor, tapi ada 2 tempat yang belum saya kunjungi karena medannya sulit. Padahal, di sana itu mereka sering diburu orang untuk di jual, tapi saya belum bisa ke sana,” aku Tini.

Gigih Berjuang

Perjuangan Tini tidaklah mudah. Apalagi, ia mengalami gangguan penglihatan pada akhir 2016 lalu. Semenjak kehilangan penglihatannya, Tini pun terpaksa harus menggunakan tongkat sebagai penunjuk arah saat berjalan, termasuk ketika ia harus masuk ke hutan untuk memberi makan owa jawa.

“Kalaupun enggak bisa lihat, saya masih berani bersaing kalau jalan di hutan, mungkin karena sering keluar masuk hutan, saya jadi tahu di mana tanjakan, mana turunan,” Tini sembari berkelakar.

Berkat kegigihannya inilah, kini semakin banyak orang yang turut peduli terhadap habitat owa jawa di Hutan Lengkong.

Dengan kondisi penglihatan yang terbatas namun tetap bisa melihat dengan samar-samar, Tini mengaku masih bisa mengenali dengan baik setiap anggota dari kelompok owa jawa yang selama ini dia rawat, bahkan dari bentuk tubuh hingga karakternya ketika diberi makan. Lebih dari itu, Tini juga diketahui memberi nama atau julukan sendiri bagi keluarga owa tersebut.

“Yang paling kecil itu pasti Naruto. Kalau yang agresif mengambil makanan dari tangan saya lalu lari itu Abah, dan Ema biasanya cenderung lebih diam di atas pohon jika ada orang asing di sekitar dia,” ungkap Tini panjang lebar.

Tini juga mengungkap mengenai satu ekor owa yang sebelumnya diketahui mati akibat tersengat kabel listrik saat mencari makan. Karena itu, dia berharap kedepannya PLN mau membungkus kabel-kabel tegangan tinggi agar kecelakaan serupa tidak kembali terulang.

Tini berharap ada orang dermawan yang memberikan bantuan untuk membeli lahan di sekitar wilayah tersebut untuk ia jadikan lahan konservasi.

“Jadi di kemudian hari saat mungkin saya sudah enggak ada dan enggak ada orang lain yang berniat peduli terjun seperti saya, mereka (owa) enggak lagi kelaparan sampai mengetuk rumah penduduk atau sampai mati tersengat aliran listrik kerena mencoba mencari makan di luar sana,” pungkas Tini.