Titi Anggraini
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Srikandi Pemilu dan Demokrasi
Sosok ulet dan pekerja keras. Pemikiran-pemikiarn jernihnya tentang bagaimana harusnya demokrasi di negeri ini dijalankan telah mengisi ruang-ruang kosong yang selama ini tak tergali dan luput dari amatan publik. Bagi Titi Anggarini, demokrasi bukanlah pilihan sistem terbaik. Tetapi demokrasi dengan segala kekurangannya memungkinkan kita untuk mendebatkan dan mendiskusikan kelemahan demokrasi agar menjadi lebih baik.
Baru saja negeri ini menggelar pemilihan kepala daerah secara akbar. Mengapa akbar? Berdasar data Komisi Pemilihan Umum (KPU), di pilkada 2018 secara keseluruhan terdata ada 163.146.802 pemilih potensial. Jumlah ini setara 86,68 persen dari total DPT Pemilu Presiden 2014. Pemilih itu tersebar di 31 provinsi, 381 kabupaten/kota, 5.564 kecamatan, 64.534 desa/kelurahan, dan 385.791 desa. Sehingga berdasar anatomi tersebut, Pilkada 2018 adalah yang terbesar sepanjang penyelenggaraan pilkada serentak sejak 2015 lalu. Lebih dari itu, Pilkada 2018 menjadi sangat krusial karena diselenggarakan jelang perhelatan pemilu anggota legislatif dan pemilu presiden secara serentak, 2019 nanti.
Pemilu serentak yang baru pertama kali diselenggarakan dalam sejarah elektoral Indonesia ini amat menentukan apakah bangsa ini akan menuju konsolidasi demokrasi ataukah akan tetap berada pada masa transisi. Tak berlebihan jika media, pelaku politik, dan pakar menyebut 2018 adalah tahun politik. Tepatnya, tahun politik yang menentukan. Pilkada 2018 makin kompetitif, bukan hanya karena berada di antara waktu menuju pemilu serentak 2019 dan jadi pemanasan parpol-parpol, tapi juga dihelat setelah parpol belajar dari dua penyelenggaraan pilkada serentak sebelumnya. Ini jelas menjadi tantangan besar bagi seluruh elemen. Khususnya penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu, dalam memastikan bahwa keseluruhan tahapan pilkada terselenggara baik serta pelanggaran bisa dicegah dan ditindak tegas. Tentu penyelenggara pemilu tidak bisa dibiarkan bekerja sendirian, sinergi dan peran serta seluruh aktor negara adalah keniscayaan. Pemerintah dan semua pihak harus memastikan bahwa dua institusi ini terfasilitasi baik dari sisi anggaran dan tidak ada intervensi ataupun tekanan dalam menjalani kerja-kerjanya.
Adalah Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) yang turut andil untuk memastikan pemilu berjalan jujur, adil, dan demokratis. Di bawah komando Titi Anggraini, organisasi ini hadir selalu memberikan perpektif jernih untuk pelaksanaan pesta demokrasi dan bagaimana harusnya demokrasi dijalankan di negeri berpenduduk 250 juta ini.
“Mengelola pilkada akbar di tahun politik bukanlah pekerjaan mudan nan sederhana. Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi jadi kunci untuk menyukseskannya,” terang Titi Anggraini, Direktur Ekeskutif Perludem, belum lama ini.
Seperti fenomena ‘bumbung kosong’ yang terjadi di beberapa lokasi pemilihan kepala daerah. Ternyata, sejumlah negara yang telah lama mempraktikkan pemilihan umum dengan satu pasang calon tunggal seperti ini. Di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, India, Malaysia, dan Filipina, masalah calon tunggal bukan hal baru dan aneh. Negara-negara yang memiliki tradisi demokrasi yang mapan, ada mekanisme mengatasi soal calon tunggal ini. Jika dalam sebuah pemilihan kepala daerah hanya ada calon tunggal, calon tersebut langsung disahkan sebagai pemenang. Di Amerika Serikat, ini dikenal dengan istilah uncontested election. Sedangkan di Kanada, calon tunggal langsung aklamasi menjadi kandidat terpilih.
Dalam konteks Indonesia, Titi Anggraini Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mempunyai berpendapat berbeda. Titi menganggap pemungutan suara tetap diperlukan meskipun dengan calon tunggal. Karena kalau mekanismenya aklamasi atau uncontested election akan membuka ruang bagi kong kalikong dan rekayasa antarparpol sejak awal masa pencalonan. Bisa terjadi aksi borong dukungan oleh calon dengan modal kuat, dengan harapan tidak perlu ikut pemilihan.
“Hitung-hitungannya ala berdagang, sudah pasti terpilih dan “murah” di awal daripada harus turun menyapa pemilih menyampaikan visi misi. Politik transaksional akan marak di hulu pencalonan tanpa memberi ruang pemilih untuk mengevaluasi dan mengontrol calon,” terang Titi yang mempunyai pengalaman belasan tahun sebagai panitia pengawas pemilu dan mendalami secara serius ilmu tentang pemilu dan demokrasi.
Perhelatan pemilihan kepala daerah 2018 di 171 provinsi, kabupaten, dan kota diwarnai dengan munculnya satu pasangan calon saja. Ini terjadi di 13 daerah. Meski hanya ada satu pasangan calon, pilkada tetap akan diselenggarakan. Berdasarkan undang-undang, maka calon tunggal akan disandingkan dengan kolom kosong.
***
Titi Anggarini lahir di sebuah dusun kecil di Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan, 12 Oktober 1979. Sulung tiga bersaudara ini mengaku bersyukur memiliki orangtua yang sangat peduli dengan pendidikan anak-anaknya meski hidup dalam keterbatasan ekonomi.
“Anak perempuan di kampung saya, besar sedikit nikah. Kalau tidak nikah ya kerja ladang,” kenangnya.
Namun, orangtua Titi punya pemikiran beda. Mereka tidak ingin anak-anaknya nikah muda. Mereka juga tidak pernah meminta kepada –anak-anaknya untuk menjadi orang kaya raya. Mereka hanya berpesan: jadilah orang berilmu. “Dengan berilmu, kita tidak akan diremehkan orang lain dan lebih mudah mencapai cita cita,” kata Titi mengenang ucapan ibunda.
Karena itulah Titi kecil dikirim ke Jakarta, meski masih kelas empat sekolah dasar. Di ibukota, Titi dititipkan kepada bibi, dan bersekolah di kota metropolitan ini. Beberapa tahun kemudian, adik-adiknya menyusul ke Jakarta. Tujuannya satu: untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
Saat Titi memasuki bangku SMA – kebetulan Titi diterima masuk SMA Negeri 8 Bulungan, Jakarta Selatan yang merupakan salah satu SMA terbaik di kota ini – kedua orangtuanya memutuskan hijrah ke Jakarta. Di sini, katanya, mereka benar-benar memulai hidup dari nol. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ayah-ibunya membuka warung makanan. Mereka pun berbagi tugas. Titi mendapat giliran menjaga warung usai pulang sekolah. Pula dengan adik-adiknya.
Meski sibuk, namun tak mengurangi prestasi akademik mereka. Terbukti, dia dan saudara-saudaranya diterima masuk di kampus-kampus negeri favorit. Titi misalnya, diterima masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Adik keduanya diterima di Fakultas Geologi Universitas Padjdjaran, sedangkan si bungsu diterima di Fakultas Ilmu Budaya UI.
Kuliah dan bekerja adalah keseharian dari sosok pekerja keras ini. Sejak semester pertama, meski dijejali dengan jadwal kuliah yang padat, Titi yang pernah bercita-cita menjadi reporter televisi ini masih sempat menjadi guru bimbingan belajar bagi anak kelas 3 SMA yang ingin masuk tes perguruan tinggi. Itu yang dia lakukan hingga lulus kuliah pada 2001 dengan menyandang predikat sebagai lulusan terbaik dan mahasiswa berprestasi utama Fakultas Hukum UI.
“Saya menghargai betul pendidikan, menghargai ilmu, dan menghargai bagaimana kita harus berbagi. Makanya salah visi yang kami ambil di Perludem ini adalah bagaimana kita mendiseminasikan informasi dan data kepemiluan kepada semua pihak,” ungkap Titi yang menjadi salah satu pendiri Perludem. Itulah salah satu alasan semua publikasi dari Peludem selalu ada versi online.
Titi telah menaruh minat pada isu pemilu dan demokrasi sejak duduk di bangku kuliah di Fakultas Hukum UI. Berbeda dengan mahasiswa fakultas hukum yang jamak menaruh minat di dunia praktisi hukum ataupun hukum bisnis, Titi lebih tertarik pada dinamika hukum ketatanegaraan di Indonesia. Baginya, hukum tata negara di Indonesia sangat dinamis. “Ini menarik buat saya,” katanya.
Uniknya, dari 250 mahasiswa Fakultas Hukum yang ada, ternyata hanya tiga mahasiswa yang memilih program kekhususan tata negara atau hukum tentang negara dan masyarakat ini. “Jadi kalau kami kuliah, waktu itu dengan Prof Harun Al-Rasyid dan Prof Ismail Sunny, seperti kuliah privat karena mahasiswanya hanya tiga dan maksimal 5 orang,” kenang Titi yang bersyukur mendapat kesempatan belajar dengan para tokoh penting itu.
Kuliah di program kekhususan hukum tata negara, Titi mengaku belajar banyak tentang pemilihan umum, demokrasi, hingga partai politik. Itulah yang kemudian membuatnya semakin mantab untuk mempelajari lebih dalam tentang pemilihan umum dan demokrasi.
Berbicara tentang Perludem, organisasi ini berdiri pada 2005. Pendirinya adalah para mantan anggota pengawas pemilu tahun 2004, termasuk Titi yang menjadi Koordinator Divisi Pelaporan, Panitia Pengawas Pemilihan Umum Tingkat Pusat pada 2004.
Di organisasi ini berkumpul orang-orang mumpuni yang mengerti dan paham tentang pentingnya demokrasi, dan tentu saja idealis. Beberapa diantara mereka yakni Professor Komarudin Hidayat, Didik Supriyanto, Topo Santoso, dan Professor Aswanto yang saat ini menjadi Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Mereka membentuk forum untuk mengelaborasi minat dan ketertarikan pada isu pemilu dan demokrasi dan menamai forum tersebut sebagai Perludem, kependekan dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi. Pada saat itu, Titi ditujuk sebagai sekretaris eksekutif.
Dalam perjalanannya, Perludem jatuh bangun karena motor penggerak utamanya adalah orang-orang sibuk dengan karir posisi di bidangnya masing-masing. Pada 2008-2010, saat Titi membantu Bawaslu sebagai koordinator tim ahli, Titi merasa perlu membesarkan Perludem karena gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran besar orang-orang yang terlibat di dalamnya. “Kok sayang kalau forum sebagus ini hanya sekedar menjadi forum kumpul sekali-sekali. Saya kemudian memutuskan keluar dari Bawaslu dan diminta berkonsentrasi untuk mengurus Perludem hingga saat ini.”
Di usianya yang telah lebih dari satu dasawarsa, Perludem telah banyak memberikan sumbangsing pemikiran bagi perkembangan pemilu dan demokrasi Indonesia. Salah satunya adalah gagasan pilkada serentak yang telah ‘ditangkap’ oleh pemerintah dan DPR, lalu diadopsilah gagasan itu dalam pembahasan RUU Pilkada tahun 2013 dan setahun kemudian disahkan sebagai undang-undang. Semua publikasi Perludem juga bisa diakses secara gratis di laman www.perludem.org.
Jelang Pilkada serentak 2015 hingga pilkada serentak 2018 usai digelar, kesibukan Direktur Eksekutif Perludem ini kian menjadi. Mulai menjadi pembicara hingga melayani wawancara berbagai media yang memburu berita soal pilkada. Ia pun rajin mengisi halaman opini di beberapa media massa lokal dna nasional. Selain itu, Titi juga tercatat sebagai Fasilitator dan Trainer Profesional bagi berbagai pelatihan dan bimbingan teknis di bidang pengawasan dan penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.
Tak cukup, ibu satu anak ini juga mengajar mata kuliah ilmu tata negara di berbagai kampus di Jakarta. Meski demikian, semangat Titi untuk terus menambah ilmu tidak pernah pupus. Dia menargetkan paling lambat tahun depan harus sudah bisa masuk kuliah program doktoral untuk mempertajam ilmunya.
Diantara semua kesibukan yang mendera, Titi mengaku sangat bersyukur memiliki suami dengan perspektif dan pemahaman yang sangat baik terhadap dunia yang ditekuninya. “Dia mensupport pekerjaan dan menjadi partner hidup saya dalam mengurus anak,” Titi yang menganggap dukungan suami adalah kontribusi besar yang menjadi kunci suksesnya dalam menjalani pekerjaan, selain orangtua.
Ke depan, Titi berharap, demokrasi Indonesia jangan sampai mundur ke belakang. Demokrasi, menurut Titi, bukanlah pilihan sistem terbaik. Tetapi demokrasi dengan segala kekurangannya memungkinkan kita untuk mendebatkan dan mendiskusikan kelemahan demokrasi agar menjadi lebih baik. “Ini yang tidak akan kita temui kalau negara kita menganut sitem fasis, otoratirian, atau diktator,” pungkasnya.
Boks:
Nama : Titi Anggraini
Tempat/Tanggal Lahir : Palembang/12 Oktober 1979
Status : Menikah, memiliki satu anak
Jabatan saat ini : Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
RIWAYAT PENDIDIKAN
MAGISTER HUKUM, 2005 , Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Program Kekhususan: Hukum tentang Hubungan Negara dan Masyarakat (Hukum Tata Negara)
SARJANA HUKUM, 2001, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Program Kekhususan: Hukum tentang Hubungan Negara dan Masyarakat (Hukum Tata Negara)
International Colloquium on Environmental Law, Guadalajara, Mexico, 2002, University of Guadalajara, Mexico
PENGALAMAN PROFESIONAL
- Direktur Eksekutif, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Juli 2010–sekarang.
- Dosen Tidak Tetap mata kuliah Ilmu Negara, Hukum Tata Negara, dan Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas Yarsi, Agustus 2009–2013.
- Konsultan Penyusunan Buku Panduan Pengawasan Pemilukada Partisipatif, UNDP Election–MDP, November 2010.
- Ketua Tim Asistensi/Tenaga Ahli, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), November 2008– Juli 2010.
- Konsultan Program Pemilu dan Aceh, The Democratic Reform Support Program (DRSP)–Research Triangle Institute International (a Contractor of USAID Indonesia Program), Oktober 2008–Desember 2009.
- Konsultan Penyusunan sekaligus Penyusun Buku Panduan Pengawasan Pemilu 2009, UNDP Election–MDP, Januari–Februari 2009.
- Konsultan Pemilu, Partnership for Governance Reform – Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan, April–Oktober 2008.
- Manager Dukungan Substansi Legislatif & Kepala Satker Penataan Kelembagaan dan Tata Laksana, Deputi Kelembagaan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh Nias (BRR NAD–NIAS), Banda Aceh, Oktober 2006–Maret 2008.
- Program Officer, The Democratic Reform Support Program (DRSP)–Research Triangle Institute International (a Contractor of USAID Indonesia Program), Oktober 2005–Oktober 2006.
- Legal Advisor, International Republican Institute (IRI), Mei–September 2005.
- Koordinator Divisi Pelaporan, Panitia Pengawas Pemilihan Umum Tingkat Pusat, PANWAS PEMILU 2004 (proyek Pemilu dibiayai UNDP), Mei–Desember 2004
- Advisor untuk Panwas Pemilu, International Foundation for Election System (IFES), Agustus 2003–April 2004
- Peneliti dan Acting Program Manager, Institut Hukum Sumberdaya Alam (IHSA), Maret 2001–April 2003
- Anggota Panitia Pengawas Pemilihan Umum Tingkat Pusat (Panwaslu Pusat) Tahun 1999 (perwakilan unsur perguruan tinggi, Universitas indonesia), Maret–November 1999#