Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA)

Perempuan Listrik Pahlawan Daerah Terpencil

Dijuluki wanita Listrik, Tri Mumpuni tak kenal lelah membangun energi terbarukan di desa-desa terpencil dan terluar di pelosok negeri ini. Bersama suaminya, Iskandar Budisaroso Kuntoadji, keduanya mendedikasikan hidup membangun kemandirian dan kesejahteraan masyarakat melalui energi terbarukan mikrohidro (turbin air) dan turbin angin. Ia dan suami sepakat, jika Indonesia ingin dibangun, desa-desa lah tempatnya harus memulai.

Dalam pertemuan para wirausaha dari negara-negara muslim yang bertajuk Presidential Summit on Entrepreneurship pada 27 April 2010 lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama secara khusus menyebut langsung nama seorang wirausahawati sosial dari Indonesia yang sukses mengembangkan pembangkit-pembangkit listrik di daerah terpencil, yaitu Tri Mumpuni.

Puni, demikian wanita berjilbab ini biasa disapa, telah membuat 61 desa terpencil yang awalnya gelap gulita menjadi terang benderang melalui Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA), sebuah lembaga swadaya yang didirikan bersama sang suami, Ir. Iskandar Budisaroso Kuntoadji pada 17 Agustus 1992.

Caranya, dengan memanfaatkan potensi energi air di wilayah setempat untuk menggerakkan turbin, Tri Mumpuni bersama suami membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) sebagai sumber energi listrik bagi wilayah yang belum terjangkau atau sulit dijangkau oleh PLN.

Berkat kerja luar biasa tersebut, sosok yang sering dijuluki sebagai “wanita listrik” ini berhasil mendapatkan Nobel atau award Ashden Awards 2012. Asdhen adalah lembaga swadaya masyarakat Inggris yang terlibat dalam energi ramah lingkungan. Pangeran Charles menjadi salah seorang penaung Ashden Awards. Puni juga diganjar penghargaan Ramon Magsaysay pada 2011.

Salah satu desa yang berhasil dibuat menjadi terang benderang adalah Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Puluhan tahun warga desa hidup tanpa listrik, bahkan untuk mendapatkan air untuk kebutuhan sehari-hari membutuhkan waktu 7 jam.

Rumah-rumah warganya banyak berada di atas bukit, sementara ketersediaan air ada di bawah bukit. Setiap harinya Ibu-Ibu harus menghabiskan waktu 7 jam lamanya untuk mengumpulkan air untuk kebutuhan sehari-hari.

Kondisi ini tentunya tidak boleh dibiarkan. Melalui lembaga IBEKA yang diasuhnya, Puni membangun PLTMH yang terletak di Bakuhau, Desa Kamanggih. Listrik salah satunya digunakan untuk menyedot air dari bawah bukit ke atas. Ini artinya para ibu tidak perlu lagi menghabiskan waktu 7 jam lamanya untuk angkut air dari bawah. Dampak lain, karena tidak lagi ambil air di bawah bukit, para ibu bisa memanfaatkan waktu untuk menenun kain, sehingga menambah pendapatan keluarga.

Namun, katanya, “listrik bukan tujuan utama kami, melainkan membangun potensi desa supaya mereka berdaya secara ekonomi.”

Karena itu, meskipun telah melistriki banyak tempat, Puni dan suami terus mengembangkan end use productivity, yaitu bagaimana masyarakat desa setelah memiliki listrik, bisa menggunakan listrik itu untuk kegiatan produktif sesuai potensi desa.

Dalam konteks krisis lingkungan bumi saat ini, dengan pemanasan global yang menimbulkan berbagai perubahan iklim dan cuaca, apa yang dilakukan Puni dan Iskandar menjadi bermakna.

“Agar pembangkit listrik tenaga air itu mampu berfungsi terus-menerus sepanjang tahun, setidaknya daerah tangkapan air di hulu harus dipertahankan seluas 30 kilometer persegi. Artinya, tidak ada penebangan hutan atau penggundulan vegetasi,” kata Puni saat berbincang dengan tokohinspiratif.id di kantor IBEKA yang berada di kawasan Rawabelong, Palmerah, Jakarta Barat.

Pembangkit listrik mikrohidro juga ramah lingkungan karena tidak menggunakan bahan bakar fosil. Artinya, tidak menambah jumlah gas karbon dioksida ke atmosfer yang memperburuk efek rumah kaca penyebab naiknya suhu muka Bumi secara global.

Membangun komunitas

Karena memegang prinsip listrik hanya alat untuk membangunkan potensi masyarakat desa, cara kerja Puni dan Iskandar adalah membangun komunitas, mengajak mereka menyadari pembangkit listrik itu milik mereka dan mereka harus memelihara bukan hanya turbinnya, tetapi juga keajekan aliran air sepanjang tahun.

“Awalnya, kami yang memang senang jalan-jalan ke desa melihat ada sungai yang alirannya bagus dan belum ada kabel listrik PLN lalu kami temui kepala desanya.”

“Kami tidak berani memberi harapan. Biasanya Mas Iskandar akan bilang, kebetulan dia diberi pengetahuan lebih untuk mengadakan listrik. Ibu ini—maksudnya saya—yang akan mencarikan uangnya,” kenang Puni. “Setelah itu saya akan cari uang ke mana-mana.”

Desa-desa yang mereka bantu biasanya terpencil. Salah satunya Dusun Palanggaran dan Cicemet, enklave di Gunung Halimun, Sukabumi, Jawa Barat, yang mereka terangi dengan listrik tahun 1997. Untuk mencapai tempat itu harus berjalan kaki sembilan jam atau naik motor yang rodanya diberi rantai sebab jalan setapaknya licin. “Uang dari listrik dipakai membangun jalan berbatu yang bisa dilalui kendaraan four wheel drive. Ini membuka peluang membantu 10 dusun lain,” kata Puni.

Sebelum membangun pembangkit listrik, Ibeka selalu mengumpulkan data untuk melihat kemungkinannya secara teknis. Iskandar lalu membuat rencana teknik dan menghitung rencana anggaran biaya. Setelah itu tugas Puni “berjualan”. “Yang banyak membantu kedutaan Jepang,” kata Puni.

Setelah dana ada, Ibeka lalu mengirim tim sosial yang biasanya tinggal mulai dua minggu sampai satu bulan di desa. Di sini proses membangun komunitas dimulai, saat masyarakat diajak berdialog.

“Kami akan mencari orang-orang berpengaruh di desa itu lalu membuat pertemuan dengan masyarakat di gereja bila komunitasnya Kristiani, di masjid kalau komunitasnya Muslim, atau di rumah adat seperti di Kalimantan,” kata Puni.

Masyarakat diminta membuat organisasi yang akan mengurus turbin, menentukan siapa ketua, bendahara, sekretaris, sampai orang yang bisa bongkar-pasang mesin sebagai operator. Mereka juga diajak menghitung biaya yang harus dibayar pelanggan sebagai dana abadi dan dana untuk memelihara pembangkit listrik itu. “Ternyata orang desa nyambung diajak bicara hal-hal seperti itu,” kata Puni.

Ketika kemudian tim teknis tiba, mereka sudah tahu siapa operator turbin. Dia akan diajak ikut memasang turbin karena Ibeka selalu mengajak masyarakat bergotong royong membangun.

Kekecualian terjadi di Desa Krueng Kala, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar. Menurut Puni, masyarakat di sana sama sekali tidak membantu karena mereka lelah setelah konflik berkepanjangan dan kemudian disapu tsunami pada 24 Desember 2004.

“Di sana tersisa hanya satu desa dengan 215 keluarga,” kata Puni. Lembaga swadaya internasional juga bertanggung jawab dengan membuat proyek Cash for Work. “Orang dibayar Rp 50.000-100.000 sehari untuk mengangkut batu dan membersihkan sampah di rumah mereka sendiri.”

Ketika enam bulan Puni kembali ke sana, hal tak disangka terjadi. “Kas desa terisi Rp 23 juta. Lalu ada aturan baru desa yang melarang menebang pohon apa pun dalam jarak 50 meter di kiri dan kanan sungai. Mereka menanam pohon buah-buahan supaya bisa dapat hasil dari buah itu. Padahal, sebelumnya sulit sekali menentukan uang langganan karena mereka merasa tidak punya uang.”

Sama-sama untung

Dalam sistem yang dibangun Ibeka, menurut Puni, bukan hanya masyarakat desa yang untung. PLN dan pemerintah juga untung. Desa yang belum ada aliran listrik PLN (off grid) mendapat pemasukan dari uang langganan yang dibayar penduduk. Sedangkan di desa yang ada jaringan PLN, Ibeka menggunakan skema on grid yang menguntungkan dua pihak.

“Kalau tidak salah ingat, pada 26 Desember 1999 ketika Pak Susilo Bambang Yudhoyono menjabat Menteri Pertambangan dan Energi saya menjelaskan agar sistem ini diterapkan di Indonesia,” kata Puni.

Rakyat tidak perlu terpinggirkan dalam pembangunan, bahkan punya dana abadi karena listrik yang menjadi aset desa dijual kepada PLN. “Ini bukan hanya capacity building, tetapi equity building karena kepemilikan rakyat sangat dihormati,” kata Puni.

PLN tidak perlu investasi. “Karena yang investasi rakyat dengan bantuan donor,” tambah Puni. “Sebenarnya pemerintah juga bisa investasi, tetapi saya tidak mengerti mengapa sampai sekarang tidak dilakukan.”

PLN menerima listrik bersih karena sumber energinya air, bukan bahan bakar fosil. Dari sisi teknis, di ujung-ujung jalur distribusi kualitas listrik PLN tetap terpelihara bila di ujung-ujung itu listrik PLN disuntik listrik rakyat.

Keuntungan untuk pemerintah, harga listrik mikrohidro lebih murah, Rp 425 dan Rp 432 per kWh. “Setahu saya listrik dari swasta dijual 6-7 sen dollar AS sebelum negosiasi,” kata Puni.

“Bila pemerintah sepakat membangun 500 megawatt listrik dari tenaga mikrohidro, lalu rata-rata satu pembangkit menghasilkan 100 kWh, berarti ada 5.000 pembangkit. Bila semua dijual ke PLN, ada pemasukan uang ke desa sebesar Rp 1,29 triliun per tahun. Bayangkan ekonomi desa yang akan tumbuh karena itu,” terang Puni yang meraih penghargaan ASEAN Social Impact Awards pada 2018, bersama dua sociopreneure dari Filipina dan Thailand, karena telah berhasil memberikan dampak positif yang besar secara sosial dan ekonomi di negaranya masing-masing.

Bila pembangkit itu dioperasikan masyarakat, berarti ada 5.000-an usaha kecil di desa yang menyerap 39.000 tenaga kerja bila tiap pembangkit dioperasikan tiga-enam orang. Orang desa pun akan bertahan di kampungnya karena ada kegiatan ekonomi di sana.

“Penghematan bahan bakar mendekati satu miliar liter setahun atau senilai kira-kira Rp 4,3 triliun, sementara biaya yang dibayarkan PLN kepada orang desa hanya Rp 1,29 triliun,” ujar Puni.

Keuntungan lain berhubungan dengan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, yaitu Protokol Kyoto. “Karena sumber energinya bersih, maka Clean Development Mechanism pembangkit mikrohidro dapat menjual Certified Emission Reduction kepada negara maju. Nilai untuk 5.000 pembangkit listrik tadi adalah 6 juta dollar AS per tahun. Dana ini dapat dipakai untuk membangun lebih banyak desa.”

Lalu, kenapa pemerintah tidak melaksanakan skema ini? Puni mengatakan, penyebabnya adalah sistem anggaran yang mengharuskan adanya kontraktor yang membuat tidak terbangunnya komunitas. Akibatnya, hasilnya tidak langgeng. Sistem ini dijalani karena takut ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedangkan tanpa KPK birokrasi kita sudah terkenal amburadul. Seperti lingkaran setan.

Karena itu, solusi paling tepat adalah memperkuat masyarakat desa. “Kami membantu orang desa mendirikan koperasi yang berbadan hukum sehingga bisa membuka rekening bank. Dana untuk membangun pembangkit ditransfer langsung ke rekening itu. Cara ini yang saya minta di-copy pemerintah.”

***

Keberpihakan Mumpuni pada kelompok terpinggirkan sudah dibangun dari kecil. ”Waktu kelas IV SD saya diajak ibu keliling ke kampung-kampung untuk mengobati orang-orang yang korengan,” kenang anak ketiga dari delapan bersaudara dari pasangan Wiyatno (alm) dan Gemiarsih ini.

Rumah keluarga di Semarang itu menjadi pusat berbagai kegiatan sosial, mulai dari Program Kelompok Belajar Paket A sampai posyandu. ”Ibu saya hebat meski pendidikannya hanya sekolah kepandaian putri,” sambungnya.

“Pengalaman-pengalaman itu memperlihatkan kepada saya, dari proses hubungan manusia itu uang bukan segala-galanya,” tambah Puni.

Tri Mumpuni remaja menang dalam Lomba Karya Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada tahun 1982. Kecerdasan dan keberaniannya menarik perhatian Rektor IPB Andi Hakim Nasoetion, yang kemudian menawarinya kuliah di IPB. Namun, Puni baru mau menerima tawaran itu setelah gagal masuk Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

”Almarhum Pak Andi Hakim sangat berperan menentukan jalan saya,” kenangnya.

Jalan hidup kemudian seperti sudah dibentangkan di hadapannya. Sampai lima tahun setelah lulus IPB, ia sempat bekerja untuk pembangunan rumah murah bagi kaum miskin kota. Tawaran kerja kantor yang memberinya gaji besar tak pernah memikat hatinya untuk tergerak menerima pekerjaan tersebut.

Pilihan hidup seperti itu secara tak langsung dipengaruhi orang-orang di sekitarnya yang memberinya kepenuhan dan cinta. ”Saya belajar memberi dari ibu, belajar berbagi dari bapak,” ujarnya.

Suaminya, Ir. Iskandar Kuntoadji, adalah sarjana geologi dari Institut Teknologi Bandung, dan belajar pembangkit mokrohidro di Swiss. Dari Iskandar, Puni banyak belajar mengenai kesederhanaan hidup, kejujuran, dan kebahagiaan berbagi.

Iskandar juga mengajari bahwa rezeki itu cukup satu gelas. Kalau sudah lebih, berikan pada orang lain. “Itu mengajarkan untuk menahan diri dari keserakahan. Lingkungan kita rusak karena ego untuk terus mengonsumi, terus menumpuk.”

Dia menyebut hidupnya sangat berwarna. Suatu kali dia bersama suami dan anak tertuanya, Ayu yang bersekolah di Kanada, berada di dusun di hutan Ketambe, Gunung Leuser, Aceh Timur, yang gelap gulita tak ada listrik. Tetapi, kali lain dia ada di New York atas undangan Perserikatan Bangsa-Bangsa, di Dubrovnik di Kroasia, atau Beijing di China.

“Ayu bilang, betapa tidak adilnya ketika 47 persen orang Indonesia belum dapat listrik. Kami katakan, yang lebih tidak adil lagi adalah uang untuk melistriki mereka dikorup. Ini kriminal,” ujar Puni yang saat ini juga sedang fokus dalam Program Patriot Negeri.

Dengan program ini, Puni mengirim anak-anak muda dengan berbagai latar pendidikan dari perguruan tinggi berbaur bersama warga, mendampingi, menyusun dan membangun kemandirian listrik ramah lingkungan.

 “Program ini digagas era Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dijabat Pak Sudirman Said. Mereka ini dari latar belakang pendidikan beragam meskipun prioritas insinyur,” tutur Puni yang namanya sempat beberapa kali masuk bursa calon menteri.

Kalau latar belakang pengacara, maka dikuatkan legalisasi dan advokasi peraturan desa yang melindungi sumber daya alamn. Kalau teknisi, diajarkan sistem pembangunan bersama rakyat yakni bangun mikrohidro. Jadi apapun yang masuk ke desa jadi hal yang berkelanjutan.

Anak muda yang ikut Patriot Negeri harus punya empat kompetensi, yakni kejuangan, keikhlasan, kemampuan membangun komunitas dan mengajak warga menyadari pembangkit listrik itu milik mereka dan harus memelihara bukan hanya turbin, juga kelangsungan aliran air sepanjang tahun.

“Saya yakin kedaulatan energi di Indonesia bisa maju dan terwujud. Syaratnya mudah, pemerintah berhenti mengerjakan proyek untuk rakyat, berikan saja ke ahlinya. Birokrasi hanya membuat kebijakan dan regulasi, tapi tidak ikut proyek.”

Di ujung perbincangan Puni berharap mikrohidro dibangun dengan benar dan sungguh-sungguh di negeri ini. Mikrohidro, tuturnya, adalah alat untuk memakmurkan rakyat.

“Saya berharap, pemerintah dan anak muda, ikut membantu menerangi sebanyak mungkin desa dengan pembangkit listrik mini tenaga air. Sedikit ilmu yang bisa kami bagi dengan membuat pembangkit listrik dari tenaga air mili dan mikrohidro. Ini cara kami bersyukur dan menikmati rahmat Tuhan.”

Riwayat Hidup

Biodata

Nama                           :Tri Mumpuni
TTL                              : Semarang, 6 Agustus 1964
Suami                          : Ir Iskandar Budisaroso Kuntoadji

Pendidikan    

  • Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor;
  • Energy and Sustainable Development International Session, Universidad da Costa Rica, 1992;
  • Trade and Sustainable Development Course, Chiang Mai University, Thailand, 1993;
  • Leadership for Environment and Development Course, 1993-1995,
  • LEAD based in New York funded by Rockefeller Foundation; Lead Fellows (Cohort 2).

Penghargaan

  • Climate Hero 2005 dari World Wildlife Fund for Nature.
  • Ashoka Fellow, 2006
  • Penghargaan Ramon Magsaysay 2011
  • Ashden Award 2012
  • Penghargaan ASEAN Social Impact Awards, 2018

Pekerjaan      

Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA).