Trinirmalaningrum
Direktur Perkumpulan Skala
Berkarib dengan Bumi, Bergiat untuk Kemanusiaan
Bersama Perkumpulan Skala, Trinirmalaningrum aktif melakukan berbagai riset, advokasi, dan pendampingan tentang kebencanaan mulai dari level pemeritah pusat, pemerintah daerah, dan turun langsung ke masyarakat. Hidup di atas tanah rawan bencana, semua elemen bangsa tidak boleh abai terhadap rencana kotinjensi. Karena, persoalan keamanan serta keselamatan menjadi salah satu hak dasar setiap manusia, tak terkecuali bagi masyarakat Indonesia.
Sebagai negara yang berada di jalur cincin api, kita, rakyat Indonesia, hidup di wilayah rawan bencana gempa bumi dan tsunami. Hampir di setiap wilayah Indonesia memiliki gunung api aktif dan sesar aktif. Data Badan Geologi 2017 menyebut ada 295 sesar aktif saat ini. Ironisnya, lingkungan tempat kita tinggal tak dirancang agar mampu bertahan kala musibah datang. Contoh terdekat adalah kasus di Banten dan Sukabumi.
Salah satu pihak yang wajib menata ruang agar masyarakat aman bahkan ketika bencana terjadi adalah pemerintah daerah. Sayangnya, seperti dinyatakan Trinirmalaningrum, Direktur Perkumpulan Skala, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang fokus terhadap bencana, mereka bahkan kadang tak tahu potensi bencana pada wilayahnya masing-masing.
Trinirmalaningrum memberikan contoh tentang apa yang telah terjadi di Sukabumi. Di sana, wilayah permukiman penduduk justru ada di daerah berbukit dengan kemiringan terjal. Akibatnya, longsor terjadi ketika hujan deras turun dan tanah tak mampu lagi menampung air. Ada 34 rumah di kampung adat tertimbun pada Senin 31 Desember 2018.
“Itu yang sebenarnya perlu didiskusikan bersama, direview lagi tata ruangnya, sehingga kita tahu persis apa potensi bencananya,” ujar Rini, demikian Trinirmalaningrum biasa disapa, saat menjawab surat elektronik dari redaksi tokohinspiratif.id pada pertengahan Januari.
Tata ruang yang amburadul juga terlihat di Palu. Tata ruang Kota Palu, khususnya wilayah Pantai Talise, tidak mengacu pada perspektif antisipasi bencana walaupun ada potensi tsunami yang bisa menerjang kawasan itu.
“Di Pantai Talise, kalau mau evakuasi ketutup restoran dan bangunan di sekitarnya, padahal kalau jalannya dibuka, orang bisa langsung lari ke atas.”
Masih di Palu, Perumnas Balaroa bahkan didirikan di atas sesar Palu-Koro yang selalu bergerak. Ketika gempa dan likuifaksi terjadi, perumahan ini amblas.
Berkebalikan dengan Palu, menurut Rini tata ruang Pantai Anyer cukup baik. Di sana ruang terbukanya cukup sehingga memudahkan evakuasi.
“Di Anyer, saya lihat di sepanjang pantai, antara vila satu dan lainnya ada jalan-jalan di mana orang bisa lari ke atas menuju titik aman jika terjadi bencana. Artinya mereka sudah mempertimbangkan,” ujarnya.
Namun, masalah di sana adalah tak ada peringatan dini tsunami. Ini karena sumber tsunami bukan gempa bumi, tapi akibat aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau. Belum ada sensor yang dapat mendeteksi tsunami karena sebab tersebut.
Anyer dihantam tsunami pada Sabtu, 22 Desember 2018. Data sampai 31 Desember, tercatat jumlah korban jiwa mencapai 437 orang.
Lebih lanjut Rini mengatakan, pengelolaan tata ruang yang ada di wilayah Indonesia masih belum mengacu pada perspektif bencana. Rini mengimbau agar pemerintah dapat mengevaluasi kembali persoalan tata ruang dan potensi bencana yang menyertainya.
Kepala daerah, lanjut Rini, harus memahami tentang potensi dan mitigasi bencana di wilayah rawan bencana untuk mengurangi dampak bencana. Hal ini guna mengurangi dampak bencana yang kerap terjadi di beberapa wilayah Indonesia.
Rini mengungkapkan, saat ini ada beberapa kepala daerah di daerah belum memahami potensi bencana di daerahnya. Seperti pada bencana Palu, menurutnya pemerintah daerah tidak melakukan antisipasi bencana, padahal Perkumpulan Skala telah memprediksi gempa dan tsunami Palu-Donggala akan terjadi.
Berdasarkan riset Perkumpulan Skala, sesar Palu-Koro termasuk patahan yang sangat aktif, bergerak hingga sejauh 5 sentimeter per tahun. Sebelumnya, Perkumpulan Skala telah memprediksi gempa dan tsunami Palu akan terjadi pada tahun 2016 dan 2 juta orang akan terdampak.
Saat itu, Rini bersama organisasi lingkungan lainnya telah menunjukkan hasil riset pada pemerintah setempat. Namun, pemerintah setempat tidak menggubrisnya. “Hasil riset kami dianggap seperti angin lalu,” ungkap Rini.
Rini berpendapat dengan pahamnya kepala daerah akan bencana, kebijakan daerah pun dapat menyesuaikan dengan kondisi alam wilayah terkait. Dengan adanya kebijakan yang sesuai dengan kondisi alam, Rini yakin dampak bencana dapat diminimalisir.
Paling tidak situasi di Palu menjadi pembelajaran bagi semua pemerintah daerah, termasuk instansi lain yang terkait dalam kontinjensi. Pula, menjadi evaluasi bagi pemerintah pusat soal pengawasannya.
Semua harus sadar, Indonesia adalah negeri yang berdiri di atas tanah rawan bencana. Jadi, tidak bisa abai terhadap rencana kontinjensi. Targetnya, bencana dengan korban minimal.
***
Menggeluti dunia pengurangan risiko bencana dilakoni kelahiran Jakarta 25 Oktober 1963 ini pasca tsunami menyapu daratan Aceh pada Desember 2004 silam. Bagi Rini, gempa yang membangkitkan tsunami setinggi sembilan meter dan menyebabkan sekitar 230.000 orang tewas di delapan negara itu menjadi wake call baginya dan mungkin juga bagi seluruh aktivis lingkungan dan pekerja kebencanaan, bahwa kita hidup di wilayah yang sangat rawan. Hal inilah yang kemudian menyadarkannya akan beberapa pilihan yang harus dijalani.
“Saat itu perhatian terhadap isu pengurangan risiko bencana masih sangat sedikit dan tidak populer. Padahal upaya ini sangat penting dilakukan untuk meminimalkan korban dan kerusakan yang timbul akibat bencana yang datang. Sehingga harus ada cara agar masyarakat dapat aware terhadap persoalan ini dan agar masyarakat dapat memahami potensi bencana di wilayahnya,” ucap Rini yang hingga sekarang tercatat sebagai koresponden lepas untuk Radio Nedherlands dan Sidney Broadcasting Services untuk isu pendidikan, ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup.
Itulah alasan kuat yang mendorong penggemar traveling, membaca, dan menulis ini untuk terjun ke isu sekaligus bergabung dengan Perkumpulan Skala yang didirikan oleh beberapa jurnalis yang memiliki perhatian sama di isu kebencanaan.
Selama bergiat di Skala dan sejak bergabung dengan Walhi pada 1986, kota Palu bagaikan rumah kedua baginya. Maklum, saat di Walhi, Rini selama beberapa tahun ditepatkan di desk Sulawesi meskipun dia lebih banyak datang ke Sulawesi Tengah. Saat pembentukan Forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Sulteng, Rini juga terlibat aktif di sana.
Forum PRB merupakan salah satu amanah yang ada di UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, terkait partisipasi masyarakat. Forum PRB merupakan wadah untuk saling berkoordinasi dan bertukar informasi antarlembaga, termasuk pemerintah, lembaga usaha, dan juga LSM serta akademisi untuk mendiskusikan berbagai persoalan tentang bencana. Tak terkecuali pembicaraan tentang potensi daya rusak jika Sesar Palu-Koro bergerak.
“Semua sudah didiskusikan dalam forum ini. Tetapi sayangnya belum dijadikan suatu keputusan mendasar,” sesal sosok yang mengikuti pendidikan kepanduan sejak remaja. Dengan bergiat di Pramuka, Rini banyak belajar mandiri dan mencintai Tanah Air sejak usia belia.
Terkait Perkumpulan Skala yang kini dinahkodainya, saat ini Skala dan beberapa lembaga lain sedang mempersiapkan sebuah ekspedisi yang akan diluncurkan pada Februari 2019. Selain itu, Perkumpulan Skala juga memfokuskan kegiatan di Lombok, utamanya untuk pendidikan kesiapsiagaan. Di sini, Skala memberikan serangkaian pelatihan untuk kesiapsiagaan serta membangun beberapa fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos).
Sedangkan untuk Palu, bersama-sama dengan beberapa LSM lain, yang tergabung dalam ‘Sulteng Bergerak’, Skala mencoba memberikan masukan kepada pemerintah daerah setempat dan juga di tingkat nasional untuk upaya membangun kembali Sulawasi Tengah yang siap siaga terhadap bencana. Skala juga menyiapkan kegiatan pendidikan penyadaran terhadap kebencanaan dan pengenalan tentang kebumian dengan cara-cara yang populer.
Semua kerja keras dan tak kenal lelah dilakukan Rini dan Skala semata-mata karena persoalan keamanan dan keselamatan adalah salah satu hak dasar setiap manusia, tak terkecuali bagi masyarakat Indonesia.
“Kita kita tinggal di wilayah yang memiliki potensi bencana, selain kekayaan alam. Harusnya kita semua berkewajiban memenuhi hak tersebut. Karena penanggulangan bencana itu bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi kita semua,” cetus Rini yang memenangkan ‘perjuangan’ melawan penyakit bronkitis yang diderita semasa kecil dengan tekad bulat untuk sembuh dan rutin melakukan olahraga renang.
Terakhir, Rini berharap kepada para pemangku kepentingan, terutama pemerintah pusat dan daerah, serta lembaga-lembaga terkait untuk menghilangkan ego sektoral sehingga cita-cita besar untuk melakukan pengurangan risiko bencana secara menyeluruh dapat segera terwujud.
Khusus bagi generasi milenial, Rini berpesan agar menjadi anak muda yang tangguh, mampu mencari jalan keluar, dan pantang berkeluh kesah. Jadikan ilmu pengetahuan sebagai landasan untuk mengembangkan diri. Satu lagi, “jangan takut menghadapi kesulitan karena kesulitan itu adalah tantangan yang menyenangkan,” pungkas Rini.
Riwayat Hidup
Nama : Trinirmalaningrum
Tempat tanggal lahir : Jakarta, 25 Oktober 1963
e-Mail : riniskala@gmail.com
Blogspot : www.trinirmala2510.wordpress.com
Twitter : @trinirmala
Pendidikan
1971-1976, Persit Kartika Chandra, Sekolah Dasar, Jakarta
1976-1979, SMP 49, Jakarta
1979-1982, SMA 42, Jakarta
1982-1986, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP), Jakarta
Riwayat Pekerjaan
1986 – 1994 Media Relation manager pada Indonesia Environement Forum
1994 – 1996 Senior Copy Writer pada Matari Advertising
1996 – 1997 Creative Group Head pada Magnum Opus Advertising
1997 – 1998 Manajer Kampanye dan Komunikasi YAPPIKA terkait isu lingkungan untuk Hutan Tropis di Aceh dan Sulawesi
1998 – sekarang Koordinator Program Popular Education for Youth in Non
Violence Community
2002 – Sekarang Koresponden lepas untuk Radio Netherlands and Sidney Broadcasting Service untuk isu pendidikan, sosial, ekonomi, dan lingkungan.
2007 – Sekarang Direktur Perkumpulan Skala (perkumpulan jurnalis untuk isu konflik sosial, perubahan iklim, dan pengurangan risiko bencana)
2009 – 2011 Koordinator Komunikasi dan Informasi Platform Nasional (Planas) Pengurangan Risiko Bencana
2011 – 2014 Sekretaris Eksekutif Platform Nasional (Planas) Pengurangan Risiko Bencana
2014 – 2017 Sekretaris Jenderal Platform Nasional (Planas) Pengurangan Risiko Bencana.#