Pohon Masoi (Foto: kompas.id)

Banyak diekspor ke Eropa, Amerika, Jepang, India, dan China, perusahaan-perusahaan luar negeri memanfaatkan minyak Masoi sebagai bahan baku industri kosmetik dan obat-obatan. Di pasar dunia, harga jual minyak Masoi per 10 mililiter bisa mencapai Rp657.000, belum termasuk ongkos kirim.

TOKOH INSPIRATIF – Bumi Papua dikenal dengan keragaman flora dan fauna. Salah satunya pohon Masoi atau Mesoyi (Cryptocarya massoia) yang dikenal sebagai tanaman dengan kulit kayunya yang beraroma wangi khas.

Pohon Masoi tumbuh subur di daerah Fakfak, Papua Barat. Biasanya tanaman ini akan diolah sebagai minyak asiri. Namun sayang, Masoi di Fakfak belum dimanfaatkan dengan maksimal.

Adalah Mercy Kabes, salah satu warga Fakfak yang membudidayakan pohon Masoi. Saban hari, perempuan 42 tahun ini berjalan santai dari rumahnya sekitar 100 meter menuju ke kebunnya di Kampung Wurkendik, Distrik Fakfak Barat, Fakfak, Papua Barat. Tak jarang, dia pergi ke kebun dengan menggendong anaknya dan membawa sebilah golok di tangan kanan.

Jalan ke kebunnya tak begitu rumit, letaknya berada di pinggir jalan utama kampung. Sesampai di kebun, Mecry mengamat-ngamati sekumpulan pohon yang telah dia jaga bertahun-tahun lamanya. Dia pun menemukan pohon yang dicari.

“Masoi ini, kalau yang belum buah dan belum bunga, (batangnya) bisa dibelah dikuliti. Kulitnya lebih mudah lepas,” ujar Mercy yang dimuat Kompas.

Budidaya Masoi

Buah masoi (Cryptocarya massoy)  (Foto: kompas.id)

Tidak banyak pohon Masoi di kebun Mercy, hanya ada sekitar lima pohon dengan tinggi rata-rata 10 meter dan diameter batang 18-20 sentimeter. Dua pohon di antaranya belum berbuah dan berbunga.

Mercy merupakan satu dari sedikit masyarakat lokal yang masih menanam bibit dan mengupas kulit Masoi. Ada beberapa alasan mengapa budaya dan pengolahan Masoi kurang digemari masyarakat.

Pertama ada kepercayaan bahwa mengupas kulit Masoi di musim yang salah bisa membuat tangan melepuh. Kedua pembudidayaan Masoi membutuhkan waktu setidaknya 15-20 tahun dari proses menanam bibit hingga nantinya tanaman Masoi bisa produktif.

Alasan lainnya adalah lahan di Fakfak sudah penuh dengan tanaman Pala. Mercy perlu menjelajah hutan sejauh 1 kilometer baru bisa menemukan sebatang pohon Masoi di antara deretan pohon Pala.

“Masyarakat mengambil begitu saja kulitnya kalau sudah kepepet ekonomi. Kalau tidak kepepet, jarang ada yang ambil,” ujarnya.

Mercy hanya sesekali masuk ke hutan untuk mengambil kulit masoi. Ia mengupas dan mengeringkan kulit. Harga kulit masoi yang sudah dikeringkan biasanya Rp 30.000-Rp 45.000 per kilogram (kg). Satu pohon masoi berusia remaja, biasanya menghasilkan 3 kg kulit.

“Kalau pala, sekali panen bisa dapat puluhan ton. Sementara Masoi, bisa mendapatkan 50 kg kulitnya saja sudah bagus. Nanti kalau kulit dikeringkan, beratnya turun, harganya juga semakin turun lagi,“ tuturnya.

Bertus Woy (48), warga Fakfak lain, pun tak terlalu tertarik untuk memproduksi masoi. Alasannya, ia tidak memiliki lahan luas. Bertus memilih untuk menanam dan menjual bibit masoi. Ia biasanya blusukan ke hutan-hutan untuk mengambil bibit masoi liar. Bibit itu kemudian dirawat di persemaian.

Setelah tingginya sekitar 30 cm, bibit masoi dijual ke beberapa daerah, seperti Sorong, Teluk Bintuni, dan Kaimana, masih di wilayah Papua Barat. Biasanya, dalam setahun, ia menjual 10.000 bibit masoi. Dengan harga bibit Rp 10.000 per tanaman, Bertus bisa mengantongi uang Rp 100 juta dari masoi.

Di Desa Wurkendik, setidaknya ada 15 orang yang menanam bibit masoi. Mereka bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menjual bibit. “Kalau pembibitan ini memang lancar, potensinya bagus, tapi kalau pohon, saya belum lihat potensinya,“ katanya.

Bernilai ekonomi tinggi

Mercy Kabes menguliti pohon Masoi di kebun miliknya. (Foto: Kompas.id) 

Pengambilan kulit kayu Masoi, seperti yang dilakukan Mercy merupakan hal turun-temurun dari petani lokal di Papua. Agar mempermudah pengambilan kulit kayu, mereka biasanya sekaligus menebang pohonnya.

Ternyata eksploitasi terhadap Masoi sudah terjadi sejak 1980-an. Saat itu, Papua menjadi pemasok minyak Masoi terbesar dari Indonesia. Westphal dan Jensen mengungkapkan pada abad ke 17, sekitar 200 pohon masoi harus ditebang untuk satu muatan kapal.

“Hal ini menyebabkan kelangkaan pohon saat ini. Ekstraksi yang tinggi menjadikan populasi masoi semakin tertekan,” tulis mereka dalam Plant Resources of South-East Asia.

Tentunya penting untuk terus menjaga kelestarianMasoi karena memiliki prospek ekonomi yang sangat menjanjikan. Di pasar dalam negeri, minyak Masoi dijual dengan harga Rp121.000 per 10 mililiter.

Hal ini bisa melambung tinggi bila sampai ke pasar dunia. Untuk ukuran yang sama, per 10 mililiter harga jual minyak masoi bisa mencapai Rp657.000. Harga tersebut belum termasuk ongkos kirim yang bila ditotal bisa mencapai Rp1,3 juta.

Selama ini, minyak masoi diekspor ke Eropa, Amerika, Jepang, India, dan China. Kemudian perusahaan-perusahaan luar negeri memanfaatkan minyak itu sebagai bahan baku industri kosmetik dan obat-obatan.***

Sumber: kompas.id