Yeni DEwi mulyaningsih
Pendiri Yayasan Komunitas Taufan
Sahabat Para Penyitas Kanker
Berawal dari kepergian sang buah hati setelah dua tahun berjuang melawan ganasnya kanker darah, Yeni Dewi Mulyaningsih mendirikan Yayasan Komunitas Taufan. Melalui komunitas ini, Yeni dan para relawan menumbuhkan kembali semangat, harapan dan keceriaan kepada anak-anak yang tengah berjuang melawan ganasnya kanker yang menggerogoti tubuh mereka. Bagi bocah-bocah malang itu, Yeni dan para relawan adalah sahabat sekaligus pahlawan.
Lorong, dinding, dan sudut-sudut ruangan bangsal anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat, menorehkan kenangan pilu bagi Yeni Dewi Mulyaningsih. Dulu, delapan tahun lalu, Muhammad Taufan, putra keempatnya, menjalani rawat inap di rumah sakit berusia seabad itu, saat berjuang melawan kanker darah yang menggerogoti tubuh mungilnya.
Tak kurang dari enam bulan Taufan menjalani rawat inap di bangsal anak RSCM. Setelahnya, sepekan sekali selama satu setengah tahun, Taufan harus bolak-balik dari rumah ke RSCM untuk menjalani rawat jalan. Bocah kecil ini rutin berobat meski kerap merasa bosan karena harus bangun pagi- pagi menempuh perjalanan Bekasi-RSCM.
Saat itu, tak terbayangkan betapa hancur hati Yani, demikian Yeni Dewi Mulyaningsih karib disapa, ketika menerima kenyataan anaknya divonis menderita leukemia atau kanker darah pada 2011. Apalagi, saat itu Yanie tengah mengandung si bungsu. Saat kandungannya makin berat dan beberapa kali mengalami pendarahan, dia tetap setia mendampingi putra keempatnya itu di RS.
”Rasanya campur aduk tidak keruan. Itu periode ujian luar biasa dalam hidup saya,” ungkap perempuan kelahiran Bandung, 5 Maret 1977, tersebut.
Awal terdeteksi adanya penyakit serius pada Taufan adalah ketika anak ceria itu mengeluhkan sakit pada mata, bahkan satu bola matanya terlihat lebih besar. Dokter awalnya mengatakan bahwa itu adalah tumor retrobulber sinitra. Sejak itu, Yani dan suami membaca banyak literatur dan rajin berkonsultasi dengan dokter.
Bagaikan disambar petir di tengah hari, ketika pada 2011 Taufan divonis menderita kanker Leukemia tipe AML. Jenis kanker ini ditandai dengan sel kanker yang berukuran besar dan umumnya menyerang orang dewasa. Taufan pun harus menjalani protokol kemoterapi. Rangkaian kemoterapi yang menyakitkan itu dijalani selama enam bulan.
Selama lebih dari dua tahun berjuang melawan ganasnya kanker darah, Taufan memiliki sahabat seorang relawan bernama Zack Peterson, seorang berkebangsaan Amerika yang pernah bekerja sebagai editor Jakarta Globe dan konsultan RTI International. Zack sering mengajak Taufan bermain, membawakannya buku, dan juga berbincang dengan Yani.
Hingga saat ulang tahun yang ketujuh pada akhir April 2013, jagoan kecil yang masih menjalani kemoterapi itu jatuh tak sadarkan diri, lalu menghembuskan nafas terakhir sepekan kemudian di RSCM.
Dua bulan berlalu, Yani masih belum bisa merelakan kepergian Taufan. Hidupnya serasa hampa. Setiap kali datang ke bangsal anak RSCM, Yani mendapati delapan kamar berukuran sekitar 8×6 meter yang masing-masing memiliki enam tempat tidur itu hampir setiap hari penuh oleh pasien yang sebagian besar menderita kanker. Sementara di luar sana masih ada
ratusan anak pasien kanker yang menjalani rawat jalan dan berkunjung ke poli setiap minggu.
Anak-anak tersebut tengah berjuang melawan kanker, persis seperti putranya dahulu. Lalu, ada orang tua, sebagian besar ibu-ibu, yang juga menghabiskan waktunya untuk merawat putra-putri mereka, persis seperti yang dia lakukan dahulu. Rasa bingung, putus asa, marah, dan lelah, tak henti mendera para orang tua itu.
Waktu berjalan, akhirnya Yani bisa mengikhlaskan kepergian putranya. Rasa ikhlas tersebut lalu tumbuh menjadi empati. ”Dari situ saya bertekad untuk membantu pasien dan orang tuanya. Membantu apa saja yang saya bisa,” ucap Yani.
Yani sudah melalui tahapan itu sehingga paham betul apa yang dibutuhkan pasien dan orang tuanya. Sistem jaminan kesehatan masyarakat diakuinya sangat membantu orang tua pasien karena menanggung hampir semua biaya pengobatan dan perawatan. Namun, di luar itu, masih banyak kebutuhan lain yang luput dari perhatian.
Misalnya kebutuhan seperti susu, diapers atau popok, tisu basah, perlengkapan mandi, boneka atau mainan anak, buku tulis, buku gambar, buku dongeng/cerita, biaya makan orang tua yang menunggui anaknya di RS, hingga biaya transportasi dan kursi roda untuk pasien rawat jalan. Semua itu tidak termasuk dalam biaya-biaya yang ditanggung pemerintah. ”Padahal, itu kebutuhan penting yang juga harus dipenuhi,” tutur Yanie.
Berbekal dukungan keluarga, teman, beberapa lembaga nirlaba seperti Count Me In, dan bantuan Zack Peterson, Yani memutuskan menjadi relawan bagi anak-anak penyitas kanker. Meski awalnya ragu, Yani perlahan mencoba menjalaninya. Ia banyak bertemu para orangtua pasien-posisi yang pernah ia rasakan sebelumnya.
Dalam perjalanannya, Yani juga bertemu dengan Andriana, lalu membuat Komunitas Taufan pada 16 Desember 2013. Nama ini merujuk pada nama almarhum putranya, Muhammad Taufan. Aksi simpatiknya lantas beredar dari mulut ke mulut hingga banyak orang yang ikut menjadi donatur dan relawan.
Setelah berjalan sembilan bulan, tepatnya pada 29 September 2014, Yeni melegalkan aktivitasnya ke dalam bentuk yayasan bernama Yayasan Komunitas Taufan. Ada empat nama yang tercatat dalam akte penderian yayasan yakni dirinya, Andriana, Wibowo Sulistio, dan Maya Martini.
Melalui komunitas ini, Yani melakukan berbagai kegiatan sosial untuk mendampingi pasien anak dengan kanker dan anak dengan diagnosa risiko tinggi, memberikan konseling, motivasi, dan memenuhi kebutuhan dasar pasien. Selama lima tahun ia berkeliling dari rumah sakit ke rumah sakit se-Jabodetabek.
Setiap minggu, Komunitas Taufan memiliki kegiatan kebutuhan pasien anak. Tak hanya membagi-bagikan kebutuhan dasar pasien, Yani dan relawan Komunitas Taufan juga menyediakan waktu untuk berinteraksi dengan pasien dan keluarga. Dalam kegiatan bangsal visite, ada yang membacakan buku dongeng, bernyanyi bersama, melawak dengan pakaian badut, main sulap, atau sekadar mendengar keluh kesah orang tua pasien. ”Istilahnya, pasien butuh hiburan, orang tua pasien butuh pundak untuk bersandar,” katanya.
Yani menyebut, perjuangan para orang tua pasien juga tak kalah hebatnya. Jika anaknya adalah pasien yang butuh pendampingan 24 jam sehari dan tujuh hari seminggu, para orang tua juga harus tinggal di RS. Tidur di lantai beralas tikar atau kasur tipis, dia harus selalu fokus agar tidak lupa mencatat berapa kali dan berapa banyak anaknya buang air kecil dan buang air besar. Termasuk mencatat jenis makanan atau minuman serta berapa banyak yang dikonsumsi.
Interaksi intens ini membuat para orang tua pasien sudah seperti keluarga sendiri. Untuk meredakan ketegangan dan tekanan batin, tak jarang mereka saling bercanda. ”Kalau anaknya sudah bertahun-tahun (menjalani pengobatan kanker di RSCM, Red), kami memanggilnya profesor. Kalau baru beberapa bulan, kami memanggilnya pak atau bu lurah. Kami kadang bercanda dan tertawa di siang hari. Tapi, di malam hari, yang terdengar adalah suara isak tangis (para orang tua),” kisahnya lantas menarik napas panjang.
Yani mengatakan, banyak orang tua pasien kanker yang memutus program perawatan dengan berbagai alasan. Mulai tidak ada biaya transportasi ke RS, pindah ke pengobatan alternatif, pergi ke orang pintar atau paranormal, hingga putus asa karena sudah bertahun-tahun anaknya tidak kunjung sembuh.
”Kalau alasannya tidak ada biaya, kita bantu transportasinya. Kalau alasannya putus asa, kita bantu menyemangatinya. Alhamdulillah, sebagian pasien lantas melanjutkan proses pengobatan,” ungkapnya.
Pada momen-momen tertentu, Komunitas Taufan juga menyelenggarakan acara besar. Pernah suatu kali Yani bersama para relawan mengumpulkan hingga 3 ribu boneka untuk anak-anak pasien kanker. Pernah pula mereka mengajak anak-anak penyitas kanker pergi bermain ke Kidzania atau ke Sea World di Taman Impian Jaya Ancol.
Perempuan kelahiran Bandung, 5 Maret 1977 ini jujur mengakui tak pernah membayangkan bisa membangun sebuah yayasan untuk membantu para penyitas kanker. Ia juga mengaku tidak punya pengalaman berorganisasi, alih-alih mengelola yayasan yang kini telah memiliki ratusan relawan. Namun kerja sosial ini tak lepas dari dukungan suaminya, Ren Refly, dan tiga buah hatinya, Ryan, Rizqi, dan Ibrahim. Mengurus rumah tangga dan sibuk dengan berbagai kegiatan di Yayasan Komunitas Taufan, dijalani dengan ikhlas dan penuh sukacita.
Menginjak tahun kelima, Yayasan Komunitas Taufan sudah mendampingi lebih dari 800 pasien. Namun bukan semata penderita kanker. “Seperti B20, pasien yang tetinfeksi virus HIV. Lalu ada atrecia bilier, ada berbagai macam diagnosa dengan kelainan-kelainan pada saat bayi dilahirkan. Kita mendampingi jadi sesuai dengan kriteria kebutuhan pasiennya,” lanjut Yani kutu buku sejak kecil.
Saat ini sudah ada sekitar 500 relawan yang membatu Yayasan Komunitas Taufan, termasuk mereka yang menjadi donatur. Dana operasional dari yayasan ini pun berasal dari para donatur yang menggunakan nama ‘hamba Allah’ atau no name.
Baginya, semangat para relawan di Komunitas Taufan adalah semangat dirinya juga. “Melihat mereka yang masih muda tapi peduli sesama, antusias mereka luar biasa, jadi saya juga jadi lebih semangat,” katanya.
Komunitas Taufan juga selalu mencoba berkolaborasi dengan berbagai organisasi dan komunitas yang memiliki kepedulian terhadap kondisi para penyintas kanker. Saat ini pun telah tersedia laman yayasan Komunitas Taufan bagi yang ingin ikut membantu menjadi relawan ataupun donatur.
“Semakin banyak orang yang mendukung kegiatan kami, maka semakin banyak kami bisa mewujudkan impian kami membuat anak Indonesia menjadi lebih kuat, lebih bersemangat, dan mempunyai harapan masa depan. Bahwa dengan edukasi, dengan pendampingan, pastinya dengan izin Allah tak ada yang tidak mungkin.”
Bagi Yani, kanker bukan saja tentang penyakit, tapi tentang keyakinan kita akan kuasaNYA. Untuk keluarga yang sedang merawat pasien dengan penyakit berisiko tinggi, Yani berpesan jika semangat, keyakinan, dan doa adalah hal-hal yang harus ditanamkan di dalam diri.
“Nomor satu itu harus semangat, yakin, berdoa, kalau hal-hal lain bisa dicari, diusahakan, dan dipecahkan, tapi dari dalam diri harus ditanamkan semangat, yakin, dan berdoa,” pungkas Yani yang berharap semakin banyak rumah sakit ramah anak di negeri ini.
Umur memang ada di tangan Tuhan. Tapi, harapan, semangat, dan keceriaan bisa muncul dari uluran tangan Yani dan para relawan. Di mata anak-anak hebat yang tengah berjuang melawan ganasnya kanker, para relawan adalah pahlawan.
Riwayat Hidup
Nama : Yeni Dewi Mulyaningsih
Tempat tanggal Lahir : Bandung, 5 Maret 1977
Suami : Ren Refly
Anak : Ryan, Muhammad Rizqi, Ibrahim Aprillio
Alamat : Sekretariat Komunitas Taufan
Jl. Kayu Manis No. 6, RT. 002 RW. 005, Kav. 7,
Kel. Balekambang, Kec. Kramat Jati, Condet, Jakarta Timur 13530
Telpon : 0812-8273-4932 (Bu Yani) ; 0896-6301-1842 (Andriana)
Facebook : Komunitas Taufan
Path : Komunitas Taufan
Twitter : @KomunitasTaufan
Instagram : @KomunitasTaufan
Pendidikan
– SDN Ciumbuleuit Bandung
– SMP Bina Dharma Bandung
– SMEA N 2 Bandung
Organisasi
Pendiri Yayasan Komunitas Taufan #